Metrobuananews.com | Kupang – Tenun ikat Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan berbagai motif dan ciri khas yang begitu mempesona, digandrungi hingga Mancanegara, sayangnya nilai – nilai luhur dari tenun perlahan dilupakan generasi muda seiring berputarnya roda zaman.
Bahkan terkesan tenun ikat hanyalah milik kaum uzur, padahal tenun ikat merupakan salah satu kekayaan budaya yang menopang pertumbuhan ekonomi kreatif.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Drs. Sinun Petrus Manuk, dalam sebuah wawancara eksklusive mengatakan, untuk melesatarikan Nilai – nilai tenun ikat perlu ada sinergitas lintas sektor seperti pariwisata, pendidikan, perindustrian dan perdagangan serta sektor pendukung lainnya.
“Bicara kebudayaan itu mesti bicara secara menyeluruh. Selama ini orang berpendapat bahwa identik dengan menari, urus fosil dan lain – lain, padahal kebudayaan itu sangat luas, salah satu contoh, tenun ikat sebagai salah satu unsur kebudayaan yang punya kaitan lansung dengan ekonomi kreatif, misalnya ; kain tenun ikat menjadi baju, sandal, tas dan topi”, jelas Manuk.
Kendati mampu menggerakan roda ekonomi kreatif, eksistensi tenun ikat kian terancam oleh perkembangan tekhnologi. Betapa tidak para penenun saat ini didominasi oleh orang tua.
“Kegelisahan saya satu kali kelak tidak ada orang NTT yang bisa menenun, sehingga kita tidak bisa lagi menggunakan busana tenun ikat, yang kita pakai nanti hanya pabrikan, dan itu yang saya tidak mau”, tandas Piter Manuk.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan, menurut mantan penjabat Bupati Lembata itu bahwa kawula muda saat ini lebih cenderung mengadopsi budaya barat ketimbang menyerap nilai – nilai budaya sendiri.
“Anak SMP dan SMA yang bisa menenun sangat sedikit, ini merupakan sebuah ancaman yang harus segera disikapi”, katanya.
Lebih lanjut Piter Manuk menjelaskan, untuk melestarikan nilai – nilai budaya, pihaknya memiliki ide sederhana yang diyakini mampu menggairahkan kembali semangat generasi muda terhadap nilai – nilai luhur tenun ikat.
“Langkah awal yang akan kita lakukan yakni pembentukan komunitas tenun ikat di sekolah – sekolah secara berjenjang, mulai dari SD sampai SMA, yang kedua, mendorong SMA/SMK membuka jurusan tenun ikat”, ungkap Piter Manuk.
Menurutnya, jika 50 persen dari sekitar 1000an SMA/SMK di NTT menerapkan tenun ikat sebagai muatan lokal atau membuka jurusan tenun ikat maka akan berdampak positif bagi lestarinya nilai budaya khususnya tenun ikat.
“Saya rencana pra kondisi di awal tahun 2019, jika tenun, tenun dan tenun saja maka siswa akan bosan, karena itu tahun 2020 kita akan buat festival besar tapi berbeda, kali ini khusus anak sekolah”, ungkap Piter Manuk optimis.
Terpisah, pemerhati dan pegiat tenun ikat, Adryany W. L Therik, mengatakan pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan dan dinas kebudayaan harus sejak dini menanamkan nilai – nilai historis dari tenun ikat melalui lembaga pendidikan, sehingga generasi muda paham bahwa tenun ikat adalah kehormatan wanita, kekayaan dan harga diri masyarakat NTT.
“Tenun ikat harus dijadikan muatan lokal, terutama di SMA dan SMK”, pinta Vera Therik, sapaan akrab Adryany W. L Therik.
Menurutnya, untuk memupuk semangat dan kreativitas generasi muda, dibutuhkan event – event adu bakat yang digelar secara berjenjang baik di tingkat daerah maupun provinsi.
“Harus ada lomba desain motif, festival tenun ikat tingkat SMP sampai Perguruan Tinggi, dan kegiatan adu bakat lainnya yang berkaitan dengan tenun ikat. Ketika semua itu dilakukan maka kaum milenial akan berlomba untuk menyatu dengan tenun ikat, dengan demikian tenun ikat akan lestari dan ekonomi kreatif bertumbuh”, ujar Vera Therik.
Dia berharap, Perguruan Tinggi di NTT khususnya Perguruan Tinggi Negeri dapat membuka jurusan atau program studi tenun ikat.
“Ini akan menciptakan tenaga yang terampil di bidang tenun ikat, mulai dari perencanaan, produksi hingga pemasarannya, saya yakin jika itu terjadi maka NTT akan menjadi Beyond of Paris”, pungkas Vera optimis (MBN01)
Komentar