Menyikapi tindakan diskriminatif yang dialami Slamet Jumiarto, seorang pelukis di Yogyakarta yang ditolak mengontrak di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, hanya karena yang bersangkutan penganut Katolik, Pater Tuan Kopong MSF menjadi gerah.
Seperti dilansir Tempo.co, Penolakan ini berdasarkan peraturan yang dikeluarkan pada 2015. Aturan itu melarang pendatang dari kalangan non-muslim dan aliran kepercayaan. Aturan dikeluarkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Desa Kelompok Kegiatan Dusun Karet Desa Pleret Kecamatan Pleret Bantul tentang Persyaratan Pendatang Baru di Pedukuhan Karet. Syaratnya adalah pendatang baru harus beragama Islam.
Sebagai bentuk ungkapan kekesalan terkait peristiwa tersebut, berikut curahan hati pemuka agama Katolik di Manila Filipina, Pater Tuan Kopong MSF.
Untukmu Oknum yang Mengatasnamakan Islam :
Mengapa Kami Terus Mengalami Diskriminasi??
Saya mencintai dan menghargai Islam sebagai agama pembawa perdamaian. Islam adalah rahmatan lil’alamin. Maka saya harus menggunakan kata yang “mengatasnamakan” untuk membedakan Islam yang rahmatan lil’alamin dengan mereka yang sering mengatasnamakan Islam untuk melegalkan tindakan diskriminatif mereka.
Kami Katolik bukan preman. Kami tak pernah mengusik adamu. Namun mengapa kami begitu kalian takuti? Kami selalu terbuka menerima hadirmu, bahkan sebegitu hormatnya kami kepadamu, kami senang dan bangga bertetangga denganmu.
Tapi mengapa Katolik, selalu engkau takuti? Kami buat aksi sosial kemanusiaan kalian bilang Katoliknisasi atau Kristenisasi. Kami tak pernah menjual agama kami hanya untuk mendapatkan satu atau dua tiga orang menjadi anggota agama kami. Karena bagi kami, biarlah kami tetap menjadi yang terkecil dan kalian tetap menjadi yang terbanyak.
Diruang-ruang gereja kami, kami tidak pernah menjelek-jelekan kalian ketika Paus, para Uskup dan Imam kami berkhotbah . Meski sekian banyak sakit dan luka yang kami terima; Paus, para Uskup dan para imam kami selalu mengajarkan kami untuk memaafkanmu, mencintaimu dan mendekapmu dalam doa-doa kami.
Kami tak pernah dari rumah ke rumah berkotbah mengajarkan agama kami di hadapan kalian, pun pula tak pernah berteriak dipinggir jalanan tentang Tuhan kami Yesus Kristus, namun ketika kami hendak mendirikan gereja kami, kami kalian tolak, gereja yang sudah lama berdiri kalian paksa untuk ditutup, umat kami yang berdoa tanpa pernah menggunakan toa pengeras suara mengusik tenangmu, kalian usir.
Meski sakit yang engkau beri, luka yang engkau goreskan kepada kami; kami tak pernah membalasnya, karena kami diajarkan untuk rendah hati, mencintaimu melebihi diri kami sendiri, bahkan seorang musuh sekalipun kami maafkan dan cintai dan bukan sebaliknya mata ganti mata; gigi ganti gigi (bdk Mat 5:38; Luk 6:27). Tapi mengapa hanya karena sebuah salib, hanya karena kami Katolik, kami harus terus mengalami bencimu, menerima luka diskriminasimu?
Senjata kami hanya iman dan kekuatan cinta. Kami tak pernah mengusik agamamu apalagi memaksamu untuk menjadi seperti kami Katolik. Karena kami cukup sadar diri bahwa kalian yang terbanyak dan kami hanya butiran debu tak bermakna. Kami butuh perlindunganmu sebagai yang terbanyak di negri ini dan bukan menghempaskan kami bagai debu jalanan yang menyesakkanmu.
Jika kalian tak sudi berteman dengan kami, itu sudah cukup. Namun bukan dengan cara menolak, mengusir kami hanya karena kami Katolik. Karena kami punya hak untuk hidup dan tinggal di bumi pertiwi ini.
Jika kalian adalah Islam, tunjukanlah kepada kami Islam yang ramah dan bukan pemarah. Maka kamipun akan menunjukan kepada kalian bahwa Katolik sejatinya adalah agama cinta kasih yang terus membuka diri memaafkanmu, mencintaimu dan mendoakanmu.
Manila: Abril-02-2019
Pater Tuan Kopong MSF
Komentar